”Ah itu ‘kan Nabi Muhammad. Mana mungkin kita bisa menirunya?” Mungkin kita sering mendengar komentar seperti ini. Atau kita juga pernah tahu ada orang berkata, ”Nabi ’kan juga manusia biasa. Bisa juga salah.” Nah lho…
Bagaimana kita harus meluruskan dua kutub ekstrem di atas? Yang satu menganggap Nabi Muhammad saw. sebagai sosok yang untouchable (tak terjangkau). Kelompok ini merasa ciut semangatnya ketika mendengar betapa mulia akhlak sang rasul dengan melontarkan kalimat seperti pada baris pertama paragraf di atas. Kita merasa minder jika harus copy-paste kepribadian manusia yang dipuji penduduk langit dan bumi itu.
Atau menganggap Nabi saw. itu sebagai manusia yang sangat ’hebat’ seperti bisa tahu yang ghaib, bisa meramal, bisa terbang, tidak mempan senjata tajam, dsb. Padahal, Nabi Muhammad saw. juga tidak tahu yang ghaib kecuali dari wahyu. Beliau juga bisa sakit, terluka, sedih,menangis,menikah,berjalan di pasar, dan aktivitas lazimnya manusia biasa.
Ketika Perang Uhud, Nabi saw. terluka dan beberapa gigi beliau tanggal karena serangan musuh. Allah berfirman, “Jika kamu mendapat luka (dalam Perang Uhud), sesungguhnya kaum (kafir) itu mendapat luka yang serupa (dalam Perang Badar)(QS. Ali Imran 140).
Bahkan kaum kafir merasa heran mengapa rasul kok kayak manusia biasa, sebagaimana diceritakan dalam Al Quran ayat 7 yang artinya, “Dan mereka berkata, ‘Mengapa rasul ini makan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?” (QS Al Furqon 7).
Nabi saw. mengaku tidak tahu yang ghaib, seperti yang termaktub di surat Al An’am ayat 50, “Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti melainkan apa yang diwahyukan kepadaku…
Tak heran jika praktik-praktik bid’ah (amalan tanpa tuntunan) dan khurafat (kepercayaan tak berdasar) menjangkiti kelompok pertama ini. Padahal itu semua itu tidak lain adalah tipu daya syaithan dari golongan jin. Makanya, ada ’tokoh agama’ yang mengaku tahu yang bakal terjadi melalui mimpi atau mengaku tahu rahasia di balik sebuah peristiwa tanpa pembuktian secara ilmiah.
Runyamnya, banyak masyarakat yang percaya begitu saja dengan tokoh ini. Dengan berkedok mengamalkan doa atau lafal tertentu (padahal bid’ah), tokoh-tokoh semacam ini laris manis menerima ’order’ resep kaya mendadak, sukses ujian, dapat jodoh, menang pemilu, bisnis lancar, jabatan naik, dsb. Sejatinya, tokoh ini telah berkomplot dengan golongan jin. Padahal Alah mengingatkan bahwa berkomplot dengan jin akan membawa pada kesesatan manusia. “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al Jin 6).
Kutub kedua menganggap Rasulullah saw. sebagai manusia biasa yang bisa salah dan berbuat dosa. Sehingga kita tidak harus mengikuti ajarannya. Pandangan ini terdengar logis. Tapi, perlu kita ingat bahwa Rasulullah saw. memang manusia biasa. Tapi, Allah swt. menjaga beliau dari sifat-sifat buruk. Apa saja yang beliau lakukan dan ucapkan tak lain adalah wahyu dari Allah swt sebagaimana dalam surat Al Kahfi ayat 110 yang artinya, ”Dan katakan (Muhammad), ’Sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa seperti kamu yang telah menerima wahyu bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa….” Kutub ekstrem kedua ini biasanya dianut aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) dan konco-konconya.
Di ayat lain, Allah swt. menegaskan bahwa apa yang diucapkan Nabi saw. benar-benar wahyu dari-Nya. Bahkan Allah memberi jaminan validitas ucapan Muhammad bin Abdullah saw. sebagai wahyu. Allah berfirman, ”Ia (Al Quran) adalah wahyu yang diturunkan Tuhan seluruh alam. Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya (tindakan sekeras-kerasnya). Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tidak tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya)” (QS. Al Haqqah 43-47).
Oleh karenanya, para nabi dan rasul terjaga dari kesalahan (ma’shum) khususnya kesalahan dalam menyampaikan wahyu. Kadang Nabi saw. ditegur dalam suatu hal. Karena memang belum ada wahyu yang menuntun. Kemudian Allah meluruskan dengan wahyu. Misalnya dalam hal tawanan Perang Badar (lihat Al Anfal 67) atau mengucapan insya Allah saat berjanji (lihat Al Kahfi 23-24).
Antara Jin & JIL
Rasulullah saw. diutus untuk di-copy-paste sebagaimana bunyi ayat 21 surat Al Ahzab yang artinya, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Dalam kalimat syahadat kita bersaksi untuk bahwa Muhammad saw. adalah abduhu (hamba Allah) dan rasuluhu (utusan-Nya). Lengkapnya asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluh. Kata abduhu berfungsi menyangkal kutub ekstrem pertama yang menisbatkan Nabi saw. itu sakti dengan bantuan mistik (jin). Sedang kata rasuluhu menolak anggapan nabi tidak harus diikuti karena juga bisa salah.
Padahal Nabi saw. bersifat ma’shum atas izin Allah swt. Rumusnya, abduhu sangkalan untuk kelompok ’jin’ dan rasuluhu antitesis untuk kelompok JIL. ”Sehingga, kalimat asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluhu sebagai ’senjata’ bagi jin dan JIL,” begitu jelas Ustadz Amanto Surya Langka, Lc, mantan Direktur Ma’had Umar Bin Khaththab Surabaya, dalam sebuah kajian.
Pertanyaannya sebenarnya mudah saja. Apakah kita sudah berusaha dengan sekuat tenaga meneladani beliau? Katakan misalnya sulit meniru Rasulullah 100 persen, kita diwajibkan untuk terus berusaha mendekatinya. Sedekat-dekatnya.
Dengan potensi yang kita punyai (kecerdasan, kemauan, dan kekuatan), kita tapaki jalan perjuangan beliau. Mungkin tidak bisa 100 persen, mungkin 60 persen dulu. Baru kemudian naik ke 70 hingga 99 persen. Janganlah berdalih tidak mampu meniru Nabi saw. padahal kita belum berusaha secara maksimal.Jika kita berjuang semaksimal mungkin, Allah swt. akan memberi pertolongan. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al Ankabut 69). Jika dalam kondisi damai, maka jihad dalam ayat ini bisa kita maknai bersungguh-sungguh alias serius. Jadi jika kita serius, insya Allah Sang Khaliq akan memberi ilham dan jalan.
Kita harus buka berbagai referensi tentang perikehidupan beliau dan kita amalkan sekuat tenaga. Ajaklah sebanyak mungkin saudara kita seiman untuk bersama memperjuangkan risalah Nabi Muhammad saw. hingga akhir hayat. Semoga Allah menguatkan langkah kita meneladani Rasulullah saw. Amin. Wallahu a’lam.{}
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comment:
Posting Komentar