Labels

Jumat, 06 April 2012

Tentang Segelas Air dan Sebuah Hati

Harun dan Anisa jelas berbeda. Yang pertama seorang khalifah ternama dan hidup sekitar 1.200 tahun lalu. Sementara, yang kedua Anisa Maulidia Rahma masih hidup dan baru berusia 15 bulan. Tapi, dari keduanya kita bisa meraup hikmah. Seperti apa?
Bagi rata-rata orang, segelas air kerap dipandang sebagai sesuatu yang murah. Mereka tak menilainya sebagai sebuah nikmat sangat luar biasa yang patut diadakan syukuran. Tapi, hal yang seperti itu, tak berlaku bagi Harun Al Rasyid.
Sepenuh Kerajaan
Harun Al-Rasyid menjadi khalifah pada 786-809 M, termasuk dalam rentang zaman keemasan dari Daulah Abbasiyah. Dia senang ilmu dan dekat dengan ulama. Di sebuah kesempatan, dia terlibat dialog mendalam dengan seorang ulama ahli hikmah.
“Berilah nasihat agar saya bisa lebih baik dalam beribadah,” kata Harun Al Rasyid.
“Baik. Tolong ambilkan air untuk kita minum,” pinta si ahli hikmah.
Seorang pesuruh lalu mengambil dua gelas air minum, segelas untuk Harun Al-Rasyid dan segelas untuk sang ahli hikmah.
Saat Harun Al-Rasyid akan minum, si ahli hikmah menahannya. “Tunggu, saya mau bertanya terlebih dahulu.”
“Silakan,” kata Harun Al-Rasyid penuh rasa heran.
“Andai di sebuah kesempatan, Anda benar-benar mengalami kesulitan untuk mendapatkan segelas air. Di situasi yang sangat terik saat itu, tenggorokan Anda sangat kering karena kehausan yang hebat. Sedemikian hausnya, jika tidak segera mendapat air minum, Anda akan meninggal. Maka, apa yang akan Anda lakukan?”
“Akan saya umumkan bahwa kepada yang memiliki segelas air minum, akan saya ganti air dia dengan separuh wilayah kekuasaan (kerajaan) saya, demi keselamatan saya,” jawab Harun tanpa ragu.
“Anda benar,” simpul si ahli hikmah.
Harun Al-Rasyid dan ahli hikmah itupun minum. Setelah itu, sang ahli hikmah bertanya lagi, “Apa sikap Anda, andai air yang telah diminum tadi, kemudian malah mendatangkan penyakit yaitu Anda tak mampu buang air kecil? Keadaan itu bahkan berkembang menjadi penyakit hebat yang bila tidak segera diobati Anda akan meninggal.”
“Jika keadaannya demikian, maka akan saya umumkan pula bahwa kepada tabib yang mampu membuat saya sehat seperti sediakala, yaitu bisa buang air kecil dengan mudah, akan saya hargai jasanya dengan separuh wilayah kekuasaan (kerajaan) yang tersisa,” ungkap Harun Al-Rasyid mantap.
“Tepat sekali,” kata si ahli hikmah.
Dari kisah di atas, relatif mudah untuk menangkap pesannya. Bahwa di keseharian kita, karunia Allah (seperti berbagai jenis makanan dan minuman yang kita konsumsi) serta beragam amanah Allah (seperti mata, tangan, atau kaki yang kita pakai sehari-hari) sering kita sepelekan. Padahal, jika dirupiahkan berbagai nikmat itu sungguh tak ternilai.
“Air untuk minum? Jika tak ada air sumur, bukankah ada air berlangganan dari perusahaan milik pemerintah? Jika keduanya tak ada, bukankah segelas air dalam kemasan bisa kita beli Rp 500?” Demikian jalan berpikir dari banyak orang.
Begitu juga, nikmat berupa kemudahan saat kita membuang air kecil, misalnya. Sering,  kemudahan tersebut kita abaikan dengan tiada bersyukur secara khusus untuk itu. “Buang air kecil? Bukankah itu sudah biasa kita lakukan sedari kecil? Buat apa dipikirkan lebih jauh?” Begitu jalan berpikir dari rata-rata orang.
Padahal, atas semua nikmat yang diberikan kepada kita, Allah cuma berharap kita bersyukur kepada-Nya dengan cara menaati semua perintah-Nya dan meninggalkan segenap larangan-Nya.
Ambil Ibrah
Sekarang, kita tebarkan pandangan di sekitar kita. Feature yang diturunkan Jawa Pos (21/9/2010)  menyentuh perasaan. Tulisan itu berkisah tentang bayi 15 bulan bernama Anisa Maulidia Rahma yang menderita tumor hati sejak berusia dua bulan. Putri Yulianto itu sangat mungkin akan menjalani transplantasi hati dengan biaya sekitar Rp 1 miliar.
Coba renungkan dan ambil hikmah apa yang dialami Anisa. Penyakit bayi asal Lampung itu mengundang keprihatinan, antara lain karena besarnya biaya pengobatan. Tentu dana itu luar biasa besar, apalagi bagi keluarga yang mengandalkan penghasilan dari ayahnya yang berprofesi tukang ojek.
Satu miliar rupiah bukan jumlah yang mudah didapat kebanyakan orang. Andai ada yang mampu menabung Rp 1 juta setiap bulan, maka diperlukan 1.000 bulan (atau 83 tahun lebih) untuk mendapatkan biaya transplantasi hati.
Jika organ yang bermasalah hanya satu saja –hati misalnya- sudah sedemikian besar biaya penyembuhannya, maka bagaimana bila itu juga menimpa jantung, paru-paru, ginjal, mata, atau otak kita? Berapa rupiah yang harus kita siapkan? Mampukah?
Memang, saat sehat, pada umumnya kita mengabaikan urgensi dan mahalnya kesehatan. Setelah kita ditimpa sakit, dan apalagi tergolong sakit berat, barulah muncul kesadaran bahwa kesehatan itu nikmat yang sangat besar.
Oleh karena itu, memelihara kesehatan itu penting, dan itu adalah salah satu cara kita bersyukur. Janganlah kita kufur nikmat. Sehat itu nikmat yang mahal. Sebagai gambaran, banyak peluang mereguk kesuksesan dunia hilang karena ketidakmampuan kita beraktivitas secara normal saat kita sakit.
Kecuali itu, banyak uang yang harus kita keluarkan untuk menyembuhkan penyakit kita. Yang pasti, semakin berat (dan apalagi langka) penyakit yang kita derita, akan semakin banyak pula uang yang harus kita keluarkan. Sekalipun kita mampu menyediakannya, namun itu tetap membuat sedih diri dan keluarga kita.
Terakhir, agar kita pandai bersyukur, agar kita tak menyia-nyiakan amanah berupa tubuh yang sehat, maka selalulah merenungkan ini. “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?* (QS. Adz-Dzaariyaat 21).

sumber : ydsf.org

0 comment:

Posting Komentar

Followers