“Orang tua itu seneng ngomong ya Ma, ceramah, memberi nasihat?!”
“Loh, ada apa ini!?” tegur Ibu.
“Putri benar-benar jengkel lo Mam. Diklat Kepemimpinan tadi isinya cuma pidato. Mana pidatonya panjang dan laaamaaa, dan membosankan. Pokoknya menyebalkan!” kata Putri dengan nada tinggi.
“Memangnya apa isi pidatonya?” tanya Ibu mencoba menenangkan.
“Ndak menarik Mam! Ngomong tok!!”
“Masak separah itu Put. Mungkin karena kamu ndak paham.”
“Ya paham lah Mam. Tentang nilai-nilai nasionalisme, patriotisme, kejujuran, keadilan. Macam-macam lah! Semua omong kosong!”
“Jangan sinis begitu, tidak baik. Ambil positifnya.”
“Ndak ada Mam!”
“Ada! Bergantung cara kamu memandangnya. Contoh Nabi Isa. Ketika dalam suatu perjalanan melewati bangkai keledai, para sahabat beliau menutup hidung seraya bergumam: ‘Alangkah busuknya bau bangkai ini.’ Namun Nabi Isa berkata: ‘Alangkah putih gigi keledai itu.’ Pesannya, lihatlah sisi baiknya.”
“Ya juga sih, isi ceramahnya baik. Cuma anak muda seperti aku ini kan lebih memerlukan teladan. Pimpinan pemerintahan dan elite politik yang ada di depan mata kita ini lebih sibuk dengan kepentingannya sendiri, bahkan banyak yang terjerat kasus korupsi.”
Ibu menyimak dengan seksama penuturan putrinya. Sesekali beliau mengangguk membuat Putri makin bersemangat. “Terus…..,” tutur Ibu.
“Akibatnya, siswa berpandangan, pendidikan karakter dan nilai-nilai kebaikan yang ditanamkan di sekolah hanya jadi sekadar wacana. Kami merasa dibohongi. Kami hanya mendengarkan materi tentang karakter baik, kejujuran, dan patriotisme, tetapi gagal menemukan sosok teladan dalam kehidupan nyata,”
“Banyak anak muda mengaku gagal meresapi nilai-nilai yang diberikan guru menyangkut kejujuran, pengorbanan kepada sesama, dan toleransi karena berbeda jauh dengan fakta yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari,” kata Putri.
”Ya, Mama tidak setuju kalau selama ini guru selalu disalahkan karena seolah tidak memberikan pendidikan karakter kepada muridnya. Orang lupa, pendidikan yang baik bukanlah di depan kelas, melainkan keteladanan. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari,” tutur Ibu.
“Putri pikir banyaknya anak muda yang suka main kekerasan karena mereka terpengaruh kekerasan yang ditunjukkan para pemimpin sekarang ini. Anak muda kan berada dalam usia yang sedang mencari identitas dan sosok teladan.”
”Pemerintah memang perlu serius menangani persoalan pendidikan karakter. Namun yang lebih penting adalah menghadirkan sosok panutan,” Ibu menimpali.
“Benar Mam. Coba lihat, negara-negara seperti Amerika, Inggris, Perancis yang modern, nyatanya menjual ide demokrasi dengan kekerasan. Di Libya mereka mempersenjatai pemberontak. Katanya negara tak boleh kalah. Gimana sih?!”
“Lo lo lo, kok lari ke Libya segala?!”
“Realitas seperti itu membingungkan kami-kami Mam!” kata Putri.
“Realitas itu direspon kalangan muda dengan berbagai sikap. Ada yang bersikap counter-agresif, pasif, dan ada juga yang hanya mengikuti arus. Mereka yang memilih sikap counter-agresif, ada kecenderungan menggunakan kekerasan dan radikalisme. Semakin banyaknya tindakan korupsi, menjadi humus bagi munculnya tindakan kekerasan, agresif, dan radikal itu.”
“Sekarang kok malah kamu yang pidato!” seloroh Ibu.
“Dari pengakuan remaja yang terlibat tawuran atau pelaku tindak kekerasan dan teror bom, salah satu yang mendorong mereka berbuat destruktif adalah kekecewaan terhadap kinerja pemerintah dan partai politik serta menurunnya wibawa tokoh agama atau ulama. Hampir tiap hari muncul berita korupsi, pelakuna pun dari berbagai kalangan termasuk agamawan. Pokoknya merata!”
“Benar. Krisis moral dan keteladanan telah membuat sebagian generasi muda tak lagi bangga pada pemerintah dan bangsa Indonesia. Ini memprihatinkan.”
“Kita ini miskin sosok pemimpin panutan yang bisa jadi idola kaum muda!”
“Sebagai seorang muslimah, sebenarnya kamu dan kita semua, sudah mempunyai sosok panutan, yaitu Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya,” tutur Ibu mantab.
“Kok mereka sih Mam. Itu kan masa lalu, sudah lewat.”
“Maksud Mama, kalau kamu tidak menemukan sosok teladan masa kini, kamu mesti ingat pada keteladanan sosok pemimpin seperti Muhammad yang sudah teruji dan terbukti kepemimpinannya. Setidaknya jadikan Fatimah sebagai panutan anak muda. Di situlah pentingnya kamu mempelajari perilaku, sikap, dan nilai-nilai yang diajarkan beliau. Ideologi beliau!”
“Kalau sebagai warga bangsa?”
“Sebagai warga Indonesia, ideologi itu ya Pancasila yang secara intrinsik disarikan dari nilai-nilai agama dan tradisi yang hidup di masyarakat. Sebagai ideologi bernegara, Pancasila semestinya jadi nilai hidup masyarakat Indonesia sehari-hari. Sayangnya para elite politik dan pemerintahan tidak menjaganya dengan serius dan tidak memberikan contoh yang baik bagaimana mewujudkannya dalam kehidupan berpolitik dan bernegara.”
“Ibarat rumah, saat ini jendela, pintu, dan pagar rumah Indonesia serba terbuka, bahkan banyak yang bocor dan keropos. Ideologi, budaya, dan orang asing mudah sekali masuk dari berbagai pintu, baik darat, laut, udara, maupun pintu maya,” celetuk Putri.
“Ya sudahlah. Kamu mulai saja dari dirimu sendiri. Biasakan dengan yang benar. Bukan membenarkan yang biasa!”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comment:
Posting Komentar