Rasulullah Muhammad saw. lahir dalam keadaan yatim. Selang dua tahun beliau ditinggal wafat ibunya. Kemudian beliau diasuh Abdul Muthalib, kakek beliau yang seorang pemimpin Quraisy dan pengurus Ka’bah sekaligus sumur zamzam. Dua tahun kemudian gentian kakek yang sangat menyayangi beliau juga meninggal dunia.
Sebelum wafat, sang kakek berwasiat kepada salah satu anaknya, Abdul Manaf alias Abu Thalib untuk mengasuh Muhammad kecil. Padahal Abu Thalib bukanlah putra Abdul Muthalib yang paling tua atau pun paling kaya. Menurut pakar sejarah, Abdul Muthalib punya 10 anak laki-laki dengan urutan usia sebagai berikut: Al Harits, Az Zubair, Abu Thalib, Abdullah (ayah Muhammad saw.), Hamzah, Abu Lahab, Al Ghaidaq, Al Muqawwim, Shaffar, dan Al Abbas. Selain itu, ada pula anak perempuan yaitu: Ummul Hakim, Barrah, Atikah, Shafiyyah, Arwa, dan Umaimah.
Abu Thalib dipilih untuk merawat Rasulullah saw. bukan tanpa alasan. Ia bukanlah orang paling kaya di antara paman Nabi. Yang paling kaya adalah Al Abbas. Abdul Muthalib menunjuk ayah Ali bin Abu Thalib karena sikap kewibawaan di hadapan orang Quraisy dan rasa sayangnya terhadap Abdullah (adiknya & ayah Nabi saw.). Ia merasa iba dengan keadaan putra satu-satunya adiknya itu.
Selalu Dilindungi
Sebenarnya kondisi ekonomi Abu Thalib termasuk yang serba kekurangan. Ia memiliki banyak anak, di antaranya Ali bin Abi Thalib ra yang kemudian menjadi salah sahabat & pembela terdekat Nabi saw. Saking cintanya, Abu Thalib terkesan lebih mengutamakan Muhammad saw. dibanding anak-anaknya sendiri.
Hal yang sama dilakukan kakek Nabi saw, Abdul Muthalib. Agaknya Abu Thalib meneruskan gaya pengasuhan ayahnya ketika menjaga Nabi saw. Menurut riwayat, Abdul Muthalib mempunyai sebuah dipan di dekat Ka’bah. Tidak ada di kalangan orang Quraisy ataupun anaknya yang berani duduk di sana. Mereka sangat menghormati Abdul Muthalib layaknya seorang raja.
Suatu saat Muhammad saw. yang masih balita hendak naik ke dipan itu. Seketika itu para paman Nabi saw. melarang beliau. Tatkala melihat itu, Abdul Muthalib berkata, “Biarkan saja anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya ia akan memiliki kedudukan yang agung.” Kemudian Abdul Muthalib duduk bersama Muhammad saw. kecil sambil mengelus punggung Nabi saw.
Demikian pula kasih sayang Abu Thalib. Ketika Nabi saw. masih berdakwah di Mekkah, Abu Thalib tetap melindungi Rasulullah saw. dari gangguan musyrikin Quraisy. Kendati tidak bersedia mengimani ajaran Islam, Abu Thalib tetap cinta kepada Nabi saw.
Pada tahun ke-10 kenabian, kaum musyrikin bersepakat untuk memboikot Bani Hasyim, keluarga besar Nabi saw. Mereka tidak boleh diajak bicara, berjual beli, dan menikah selama 3 tahun. Orang-orang musyrik juga berusaha membunuh Nabi saw.
Karena itu Abu Thalib dan keluarga besarnya baik yang mukmin maupun tidak –kecuali Abu Lahab- tetap membela Nabi saw. Abu Thalib berusaha melindungi Nabi saw. Ia selalu mengkuatirkan keadaan Nabi saw. Jika semua orang sudah berbaring di tempat tidurnya masing-masing di malam hari, Abu Thalib menyuruh Nabi saw. untuk tidur di tempatnya agar ia bisa jikalau ada orang yang hendak menyerang Nabi saw. Atau kadang ia menyuruh salah seorang anaknya untuk tidur di dekat Nabi saw. sambil tetap siaga.
Sejatinya Nabi saw. selalu mengajak Abu Thalib untuk masuk Islam. Tapi Abu Thalib tetap menolak dengan alasan taat ajaran leluhur. Namun hingga akhir hayatnya ia tetap musyrik. Terkait ini, Allah swt berfirman, ”Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al Qashash 56).
Balas Budi
Sebagai balas budi kebaikan Abu Thalib, Nabi saw. meminta Abu Thalib agar mengizinkan beliau mengasuh salah satu putranya. Nabi saw. memilih Ali. Setelah menikah dengan Khadijah dan punya kehidupan yang lebih baik, beliau ingin meringankan beban Abu Thalib dengan mengasuh Ali.
Menurut riwayat, Ali diasuh Nabi saw. sejak sebelum beliau masa kenabian. Ali termasuk anak-anak laki pertama yang menerima dakwah Nabi saw. Ia masuk saat berusia 10 tahun.
Ibnu Ishaq, pakar sejarah kenabian (sebagaimana dikutip Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah) menyatakan bahwa selah satu nikmat Allah kepada Ali bin Abi Thalib dan kebaikan Allah yang disiapkan baginya adalah ia hidup di bawah Rasulullah, sebelum maupun pada masa kenabian.
Ketika hendak mengasuh Ali, Nabi saw. berkata kepada salah satu pamannya yang lain, “Wahai Abbas, sesungguhnya saudaramu Abu Thalib punya banyak tanggungan dan kondisi masyarakat sedang sulit. Mari kita temui dia untuk meringankan bebannya. Aku ambil seorang anaknya dan engkau pun juga demikian.” Abbas menjawab, “Baiklah.”
Lalu keduanya menemui Abu Thalib. Nabi saw. berkata, “Kami berdua ingin meringankan tanggunganmu.” Kemudian Nabi saw. mengutarakan niat untuk mengasuh anak-anak Abu Thalib. “Jika kalian menyisakan Aqil (riwayat lain: dan juga Thalib) untukku, maka laksanakan apa yang kalian berdua inginkan.”
Maka, Abu Thalib mempersilakan Nabi saw. memboyong Ali dan Abbas mengasuh Ja’far. Ali hidup bersama hingga masa kenabian. Ali termasuk pertama kali beriman dan bersama Nabi saw. dalam banyak medan jihad. Bahkan ia termasuk khalifah (pengganti) Rasul saw. dalam memimpin kaum muslimin setelah masa Abu Bakar, Umar, dan Ustman. Ali wafat setelah ditikam seorang pemberontak yang menentang kepemimpinannya pada tahun 40 H.
Sedangkan Ja’far tetap tinggal bersama Abbas, masuk Islam dan kemudian hidup mandiri. Abbas termasuk paman Nabi saw. beriman dan sering mendampingi Nabi saw. dalam beberapa momen penting.
Pun Ja’far demikian. Bahkan ia termasuk sahabat Nabi saw. yang ikut berhijrah ke Habasyah (Ethopia) dan juga ke Madinah. Ja’far gugur sebagai syuhada pada Perang Mu’tah melawan pasukan Romawi pada tahun 8 H. Semoga Allah swt meridhai mereka.{}
Sumber:
- Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, Darul Falah
- Sirah Nabawiyah, Al Mubarakfury, Al Kautsar
- Kelengkapan Tarikh Muhammad saw, Moenawar Chalil, GIP
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comment:
Posting Komentar