Sudah menjadi kebiasaan di masa jahiliyah dulu orang-orang kaya mempunyai budak. Selain untuk membantu tugas majikan, kepemilikan budak juga merupakan sebuah bisnis dan juga gengsi sosial bagi kalangan atas. Namun, kehadiran risalah Islam perlahan menghapus perbudakan. Di banyak aturan fiqih Islam terdapat ketentuan yang mewajibkan seseorang untuk membebaskan budak.
Misalnya ibadah puasa. Berdasar ketentuan fiqih, suami melanggar pantangan berhubungan badan dengan istri di siang hari bulan Ramadhan harus membebaskan budak. Jika tak mampu maka harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Masih banyak aturan fiqih yang mewajibkan seseorang membebaskan budak seperti melanggar sumpah, dll.
Sebelum masa kerasulan, rumah tangga Rasulullah Muhammad saw. & Khadijah ra memiliki beberapa budak. Yang laki-laki antara lain Zaid bin Haritsah, Tsauban, Anjasyah, Safinah bin Farukh alias Mahran. Yang wanita antara lain Maimunah binti Saad, Salma alias Ummu Rafi, Maimunah binti Abu Usaib, Khadrah, Ridhwa, Ummu Dhamirah, dan Ruzainah (dalam Syakhsiyah Ar Rasul, Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Pustaka Ikadi, 2008, hlm. 193).
Budak Jadi Anak Angkat
Setelah menjadi rasul, ada pula sejumlah sahabat Nabi saw. yang secara sukarela menjadi pelayan beliau sehari-hari. Antara lain Anas bin Malik ra. Sejak usia 10 tahun, ibu Anas, Ummu Sulaim ra menitipkannya di rumah Nabi agar membantu Rasul saw. dengan harapan Anas mendapat banyak pelajaran langsung dari Nabi saw.
Selama 10 tahun Anas membantu Nabi saw. Selain Anas, ada juga Abdullah bin Mas’ud ra yang sehari-hari menyiapkan sandal dan siwak (pembersih gigi & mulut) Nabi saw; Uqbah bin Amir Al Juhani ra, penuntun keledai Nabi saw; Asla’ bin Syuraik ra, pengurus hewan tunggangan; Bilal bin Rabbah ra, sang muadzin bersama sahabat yang tunanetra Abdullah bin Ummi Maktum ra; Aiman bin Abid ra, melayani urusan thaharah (bersuci); dan Abu Hurairah ra, tinggal dan mengurus masjid Nabawi.
Rasulullah saw. sangat lembut kepada para budak dan pelayan beliau. Anas pernah menuturkan, “Demi Allah, saya telah berkhidmat (melayani) beliau selama sepuluh tahun, dan beliau belum pernah sekalipun memukulku, belum pernah mencelaku, tidak pernah menanyakan tentang sesuatu yang aku tidak kerjakan, dan belum pernah bermuka masam kepadaku.” Zaid bin Haritsah ra malah diangkat menjadi anak.
Zaid merupakan budak laki-laki pertama yang menerima Islam. Sejak belum baligh, ia tinggal bersama Rasulullah saw. Penulis biografi sahabat nabi saw menggambarkan Zaid sebagai orang berkulit hitam dan hidungnya pesek. Ia berasal dari Bani Ma’an, sebuah perkampungan di daerah utara Jazirah Arab, dekat Syam. Awalnya Zaid budak milik Khadijah. Kemudian Nabi saw. mengangkatnya menjadi anak. Orang-orang sempat memanggilnya Zaid bin Muhammad.
Namun, Allah swt. kemudian melarang panggilan semacam ini sebagaimana firman-Nya, “…Dan Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maula-mu…” (QS. Al Ahzab 4-5). Hukum waris-mewaris bagi anak angkat juga ikut terhapus sejak diturunkan ayat ini.
Menurut sejumlah riwayat, Zaid dibeli sebagai budak oleh Hakim bin Hizam bin Khuwailid beberapa tahun sebelum masa kenabian Nabi saw. Zaid terpisah dari ayahnya dalam sebuah peperangan di jazirah Arab dan ia tertawan pihak musuh. Saat itu Zaid berumur 8 tahun. Kemudian ia diperjualbelikan dan berkali-kali pindah tangan. Hingga sampailah pada Hakim dan dibawa ke Mekkah bersama beberapa budak lainnya.
Suatu hari, Khadijah binti Khuwailid ra mengunjungi Hakim. Lalu Hakim menawarkan dua budak miliknya yang masih anak-anak kepada bibinya itu. Hakim berkata, “Bibi, pilihlah di antara mereka berdua yang engkau sukai. Maka ia menjadi milikmu.” Khadijah memilih Zaid. Khadijah menghadiahkannya kepada Nabi saw. Lalu Rasulullah saw. membebaskannya dan menganggapnya sebagai anak angkat. Allah swt. menganugerahkannya hidup sampai masa kenabian dan gugur sebagai syuhada pada Perang Mu’tah (8 H).
Sejak terpisah dengan Zaid, Haritsah dan saudaranya yang bernama Kaab bin Syuhrabil berkelana mencari Zaid. Ia sangat merindukan putranya itu. Dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam (hlm. 211-212, jilid I, penerjemah Fadhli Bahri, Lc, penerbit Darul Falah, cetakan keenam), Haritsah mengungkapkan kesedihannya dalam bait syair:
Aku menangis karena Zaid, dan aku tak tahu apa yang ia kerjakan
Apakah ia masih hidup hingga bisa diharapkan ataukah ajal telah datang padanya
Demi Allah, aku tak tahu, namun aku pasti akan mengembara
Apakah sepeninggalku, dataran rendah telah membinasakanmu ataukah gunung yang membinasakanmu?
Duhai, syairku apakah zaman mempunyai angin? Cukuplah dunia bagiku, jika engkau kembali padaku
Ketika matahari terbit, ia mengingatku padanya
Ia menghadirkan ingatkan pada Zaid ketika ia terbenam
Jika angin bertiup, angin tersebut menggerakkan ingatan tentang dia
Duhai lama nian kesedihanku karena dia
Aku akan duduk di atas unta pilihan berjalan ke bumi dengan sungguh-sungguh
Aku tak bosan mengembara dan unta tak bosan menjelajah Semua orang akan mati atau kematian datang padaku
Selang beberapa lama, Haritsah mendapat kabar keberadaan anaknya yang diasuh seorang penduduk Mekkah. Orang-orang Bani Ma’an yang menunaikan haji mengenali Zaid dan sempat berbincang dengannya. Meski dipenuhi tradisi syirik, masyarakat Jahiliyah Arab sangat menghormati ajaran-ajaran Nabi Ibrahim as, salah satunya ibadah haji.
Saat itu, orang-orang Bani Ma’an memberitahu Zaid bahwa orang tuanya sangat merindukannya. Lalu Zaid menitipkan pesan seraya berkata, “Tolong beritakan kepada kedua orang tuaku bahwa di sini aku tinggal bersama sorang ayah yang paling mulia.” Kemudian, mereka menyampaikan keberadaan Zaid kepada sang ayah.
“Silakan Kau Pilih…”
Tak menunggu lama, Haritsah bersama Kaab berangkat menuju Mekkah. Setelah bertemu Muhammad saw, ia bermaksud menebus Zaid dengan harga tertentu. Sudah menjadi kesepakatan di masyarakat kala itu anggota keluarga budak harus membayar tebusan jika hendak membebaskan kerabat yang diperbudak.
Haritsah berkata kepada Nabi saw, “Wahai Ibnul Abdul Muthalib. Wahai putra dari pemimpin kaumnya, Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas dan memberi makanan orang tertawan. Kami datang kepada Anda dengan maksud meminta anak kami. Sudilah kiranya Anda menyerahkannya kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusan seberapa adanya.”
Nabi saw. bertanya kepada Haritsah, “Bagaimana jika selain tebusan?”
“Apa itu?”
“Panggillah Zaid. Suruhlah dia memilih. Bila dia memilih kalian, maka kalian boleh membawanya tanpa tebusan. Namun jika ia memilihku, maka demi Allah aku tidak punya pilihan lain untuk orang yang lebih memilihku daripada orang lain.”
“Anda telah menambah dari lebih dari setengah hak kami dan Anda telah berbuat baik.”
Kemudian Nabi saw. memanggil Zaid dan berkata kepadanya, “Apakah engkau mengenal orang-orang ini?”
“Ya, ini adalah ayahku dan ini pamanku.”
“Aku telah engkau kenal dan engkau ketahui cintaku padamu. Terserah pilihanmu, apakah engkau memilihku atau memilih mereka.”
“Aku tak mungkin memilih orang lain selain dari diri Anda. Anda laksana ayah dan paman bagiku.”
Sang ayah terkejut seraya berkata, “Kasihan dirimu, apakah engkau lebih memilih tetap dalam perbudakan daripada kemerdakaan, ayahmu, pamanmu, dan keluargamu?”
“Ya, sesungguhnya aku menyaksikan dalam diri beliau sesuatu yang membuatku selamanya tak akan memilih orang lain selain beliau.”
Rasulullah saw. terharu melihat ketulusan cinta Zaid. Lalu Nabi saw. mengajaknya ke masjidil Haram. Di hadapan banyak orang, Nabi saw. berseru, “Saksikan oleh kalian semua! Mulai saat ini, Zaid adalah anakku yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya.” Di kemudian hari, Allah swt. menghapus ketentuan waris-mewarisi anak angkat.
Akhirnya Haritsah Haritsah pun pulang dengan perasaan campur aduk. Ia meninggalkan buah hatinya tetap bersama Al Amin, orang yang sangat terpercaya. Ia berharap Zaid menjadi orang yang mulia karena berada di bawah asuhan orang yang dimuliakan penduduk bumi dan penduduk langit.(naskah & foto: oki aryono).{}
Sumber:
- Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, terjemahan Fadhli Bahri, Penerbit Darul Falah, cetakan keenam, 2007, Jakarta – Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw jilid I, Moenawar chalil, GIP, cetakan kedua, 2004, Jakarta – Syakhsiyah Ar Rasul, Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Pustaka Ikadi, 2008, Jakarta
- Muhammad saw Super Leader Super Manager, M. Syafii Antonio, Pro LM, cetakan kelima, 2007, Jakarta
- http://esetia.blogspot.com/2011/05/anas-bin-malik-radhiyallahu-anhu.html
- http://www.akhlakislam.com/hikmah-dibalik-larangan-adopsi-anak-ustadz-imam-wahyudi.htm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comment:
Posting Komentar