Labels

Rabu, 05 Oktober 2011

Alquran Bukan Jimat Bukan Mantera

Ada anak bertanya kepada bapaknya,
“Mengapa Alquran dibaca di depan orang mati?”
“Di mana itu!?”
“Di televisi!”
“Oh, itu sinetron. Itu tontonan, bukan tuntunan!”
“Tapi di berita juga ada. Bahkan ada yang membaca Alquran di depan kuburan! Waktu UAN, teman-temanku juga diajak mengaji di makam!” kata si anak nyaris dalam satu tarikan nafas.

Bapaknya terdiam dalam bingung. Dengan perasaan pedih beliau harus mengakui, masih ada orang yang memperlakukan Alquran sama sekali berbeda dengan tujuan diturunkannya Kitab Suci itu. Ada yang mengutip sebagian ayatnya, membungkusnya, menempelkannya di dinding rumah. Mereka memperlakukan Alquran sebagai jimat penangkal sial.

Memang ada yang membawa muridnya mengaji di depan makam ‘keramat’ untuk memperoleh kemudahan menghadapi ujian. Anak-anak belia itu diajari memperlakukan ayat Alquran seperti mantera.

Ketika televisi memberitakan kematian seseorang, ada tayangan orang membaca Alquran di hadapan si mayit. Kita sedih karena tentu saja Kitab Suci berisi petunjuk itu diperuntukkan bagi yang masih hidup. Bahkan yang masih hidup jiwa dan hatinya. Sama sekali bukan untuk manusia mati.

Alquran memberitahu manusia (yang masih hidup) apa yang harus direnungkannya dan diamatinya. Dengan perenungan, seseorang akan merasakan secara lebih baik makna kesempurnaan, hikmah, ilmu, dan kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya. Dengan cara itu orang segera menyadari bahwa keseluruhan alam semesta adalah sebuah isyarat. Setiap karya Allah menunjukkan pesan-pesan dari penciptanya.

Menggembirakan
Kepada seorang sahabat, saya bertanya: Berapa jumlah TPA? Pertanyaan lewat SMS ini dijawab dengan segera: Jlh tpa d jtm spi 2004 tctt 7.300 u, stri 674.500. Alhmlh! Maksudnya: Jumlah Taman Pendidikan Alquran di Jatim sampai 2004 tercatat 7.300 unit, santrinya 674.500. Alhamdulillah!

Saya menangkap isyarat kebahagiaan dalam jawaban guru TPA itu. Ditemukannya berbagai metodologi baru yang memudahkan belajar membaca Alquran, memang telah menggairahkan banyak orang untuk mempelajari Alquran. Termasuk kalangan lanjut usia.

Fenomena yang juga menggembirakan adalah kian banyaknya pengajian yang jamaahnya membawa terjemah Alquran. Setiap kali ustadz membaca ayat, peserta diminta membaca terjemahnya. Kadang ustadz hanya menyebut nama surat dan nomor ayat, lalu meminta peserta menemukan dan membacanya, peserta lain terjemahnya. Metode itu membuat jamaah lebih bergairah. Boleh jadi karena merasa dilibatkan, dan tentu saja merasa telah menemukan mutiara-mutiara petunjuk perjalanan hidupnya. Maklum, selama ini hanya membaca tanpa paham artinya.

Virus Positif
Kita banyak menyaksikan kegairahan seperti itu di banyak masjid dan pada acara ruhani di TVRI Jawa Timur. Mari kita berdoa semoga virus positif itu segera menyebar cepat ke seluruh nusantara, tanpa ada yang mampu menghalanginya.

Kabar baik itu saya kemukakan untuk mengingatkan bahwa pesona kandungan Alquran memang hanya bisa direguk bila orang memahami isinya. Sayang kalau berpuas diri dengan merasa sudah akan memperoleh pahala dari membacanya saja. Alquran bukan hanya untuk dibunyikan, tapi untuk dipahami isi petunjuknya, dan diamalkan sebagai tuntutan hidup.

Kebiasaan membaca Alquran dan memahami artinya, akan memompa rasa dahaga menyimak kandungannya. Kebiasaan dan kebisaan itu bagus ditanamkan sejak anak-anak masih nyantri di TPA: belajar membaca sekaligus memahami artinya. Anak-anak akan terjaga untuk tetap rajin membaca Alquran saat ia sudah tamat belajar di TPA. Ada kerinduan untuk terus menyimak kandungannya.

Dari sini agaknya kita, para orangtua, harus berani melihat dan menjawab: apakah putra-putri kita tetap membaca Alquran selepas ia lulus dari Sekolah Dasar?!? Para penyelenggara TPA ada baiknya membuat penelitian untuk menjawab pertanyaan yang sama. Jangan takut melihat realitas: boleh jadi anak-anak tak lagi menyimak Alquran sebagai kebutuhan ruhaninya. Ada begitu banyak godaan yang mereka hadapi: PR sekolah, les tambahan, tontonan televisi, dan banyak lagi.

Anak-anak akan mudah mengesampingkan Alquran jika mereka hanya memahami Alquran sekadar sebagai bacaan. Bukan tuntunan yang menenteramkan hati, yang membangunkan gairah hidup, menawarkan solusi masalah, dan memompa rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan hidup.

Para orangtua bisa turut menjaga agar anak-anak tidak dininabobokkan anggapan membaca saja sudah mendapat pahala berlimpah. Tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar. Tentu saja mengingat kedudukan Alquran sebagai petunjuk. Logikanya sederhana saja: Bagaimana bisa memperoleh petunjuk kalau tidak tahu artinya.

Simaklah beberapa ayat surat Ali Imran 190-191 ini, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Rabb, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Masuk akalkah ayat ini ditujukan kepada orang mati?!?(zae/ydsf/ipg)

Zaenal Arifin Emka: Ketua Stikosa-AWS; Staf Ahli Al Falah

0 comment:

Posting Komentar

Followers