Labels

Kamis, 06 Oktober 2011

Rumahku, Surga Bagi Anakku

Pada April lalu saya mendapatkan dua kasus yang hampir sama. Pertama, seorang anak SMA yang punya kebiasaan nongkrong di warung kopi sebelah rumahnya. Ibunya menganggap kebiasaan tersebut tidak banyak manfaat, bahkan lebih banyak mendatangkan madharatnya. Cara yang mudah menyelesaikannya adalah meminta atau bahkan melarang anak kembali ke warung. Cara ini kadangkala memang manjur apalagi jika dibarengi dengan hukuman atau tindakan yang membuat anak takut.

Namun kita harus mengakui bahwa cara tersebut tidak menyentuh akar permasalahannya apalagi dilakukan terhadap anak SMA. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah mengapa warung kopi lebih menyenangkan bagi anak daripada rumah? Memang warung kopi seringkali menawarkan suasana yang seseorang untuk berlama-lama di dalamnya, di antaranya:

1. Egaliter

Hubungan antarpersonal di warung kopi seringkali sangat egaliter, tidak ada atasan dan bawahan. Semuanya sama di dalam hak dan kewajibannya

2. Didengar

Seseorang seringkali merasa sangat berharga di warung kopi karena setiap kata-kata selalu didengarkan oleh pengunjung.

3. Hak bicara

Semua orang mendapatkan hak untuk berbicara dan semua orang berkewajiban untuk mendengarkan apa yang sedang diucapkan.

Anehnya ketiga suasana di atas adalah kebutuhan dasar bagi seorang anak yang akan menginjak usia dewasa, keadilan hubungan, perasaan untuk dihargai, dan kesempatan berbicara. Ketika rumah kita mampu menghadirkan ketiga suasana di atas, maka sebenarnya anak-anak kita tidak akan pernah tergiur berlama-lama di warung.

Kedua, seorang anak SMP yang kebetulan berkeinginan minggat dari rumahnya. Pendalaman atas fakta-fakta kasus kedua ini adalah suasana rumah yang membuatnya sudah tidak nyaman lagi. Ia merasa diperlakukan dengan tidak adil oleh orang tuanya dibandingkan kepada adik-adiknya. Seringkali kesalahan-kesalahan kecil yang ia lakukan menjadikannya mendapatkan hukuman yang terlalu keras dibandingkan kesalahan tersebut.

Bagi ia, kehidupan jalanan yang terlihat keras dan banyak tindak kriminal lebih nyaman dibandingkan hidup di rumah yang selalu diatur dan ditegur atas kesalahan-kesalahan kecil yang telah ia lakukan.

Fenomena kedua kasus di atas menggambarkan betapa rumah sudah mulai menjadi tempat yang kurang nyaman bagi sebagian anak-anak kita. Bukan karena fasilitas yang kurang pada rumah-rumah tersebut tetapi lebih sering karena hubungan yang kurang baik antara orang tua dan anak.

Sebaliknya kita sering mendapatkan rumah-rumah yang penuh kekurangan tetapi anak-anak justru merindukan untuk cepat pulang karena ketulusan setiap anggota rumah kepada lainnya.

Surga Anak, Neraka bagi Orang tua

Pernyataan di atas mungkin terlalu dramatis. Tetapi saya pernah melihat seorang ibu yang tidak berdaya di hadapan anak-anaknya. Setiap ucapan ibu ini sama sekali tidak didengarkan oleh mereka. Mereka dengan nyamannya membuat kerusakan dan kotoran pada beberapa bagian rumah yang baru saja dibersihkan ibu. Saya dapat mengatakan bahwa rumah tersebut adalah surga bagi anak-anak tetapi neraka bagi orang tuanya.

Pernah saya bertanya kepada ibu tersebut, mengapa ia tidak meminta mereka untuk membersihkan dan merapikannya kembali padahal usia mereka telah cukup untuk melakukan tugas tersebut? Ia menjawab, “Saya kuatir tidak disayang lagi oleh mereka jika saya terlalu keras.”

Untuk jangka pendek mungkin perkataan ibu tersebut ada benarnya. Anak selalu dibantu orang tuanya. Tetapi pada jangka panjangnya justru sebaliknya. Mereka lebih sayang sama ibunya ketika mereka merasa terdidik oleh orang tuanya dengan tanggung jawab dan kemandirian di saat mereka masih muda.

Surga Hari Ini, Surga Masa Depan

Ada seorang ayah yang saya temui tidak memperbolehkan putra-putrinya mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, selain belajar dengan sungguh-sungguh. Hampir seluruh kebutuhan mereka dipenuhi oleh pembantu. Alasannya adalah ia dahulu merasakan kesusahan dengan bekerja pada keluarga yang lain untuk menambah biaya pendidikannya. Ia tidak menginginkan jika putra-putrinya merasakan seperti apa yang ia rasakan.

Mungkin sikap bapak ini telah membuat anak nyaman hidup di rumah. Tetapi pada sisi lain, ia melupakan bahwa mereka membutuhkan sarana untuk membangun kemandirian minimal terhadap kebutuhannya sendiri. Dengan diambilnya tugas-tugas pemenuhan diri mereka oleh pembantu maka sebenarnya pembantu telah mengambil pula kesempatan mereka untuk tumbuh menjadi manusia yang mandiri dan bertanggung jawab. Rumah tersebut mungkin menjadi surga yang nyaman bagi putra-putrinyasaat ini. Sebaliknya, pada masa mendatang justru menjadi neraka bagi mereka.

Rumahku, surga bagi anakku berarti ia menjadi surga bagi anak, surga bagi orang tua. Rumahku, surga bagi anakku saat ini dan surga bagi anakku pada masa depan mereka.{}

0 comment:

Posting Komentar

Followers